RMK News Jakarta Kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) 2023 – 2024 menuai banyak sorotan sebagai kebijakan multitahunan yang anyar bagi industri. Salah satu sorotan tersebut datang dari pelaku Industri Hasil Tembakau (IHT) sebagai pihak terdampak, khususnya segmen sigaret kretek tangan (SKT) yang merupakan industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja sebagai pelinting.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono menyoroti kenaikan cuaki SKT sebesar 5% yang berlaku untuk tahun 2023-2024.
“Kami pada prinsipnya mengapresiasi upaya pemerintah memberikan kepastian usaha lewat kebijakan kenaikan cukai 2 tahun. Terlebih kenaikan cukai SKT lebih rendah dibandingkan kenaikan cukai rokok buatan mesin,” katanya.
Namun Hananto mengharapkan adanya perhatian dan perlindungan lebih bagi sektor padat karya ini yang memiliki serapan tenaga kerja besar. Menurutnya kenaikan 5% masih tinggi. Idealnya cukai SKT tidak naik sebagai bentuk perlindungan konkret bagi SKT.
“Harap diingat, SKT memiliki peran signifikan sebagai pilar ekonomi masyarakat. Apalagi mengingat 98% pekerja SKT ini adalah perempuan dengan keterbatasan pendidikan dan ekonomi, yang merupakan tulang punggung keluarga,” ujar Hananto.
Hananto mengungkap, kebijakan kenaikan CHT berdampak pada biaya dan beban operasional sebuah pabrikan. Tekanan kenaikan cukai akhirnya membuat pabrikan dihadapkan pada pilihan untuk melakukan efisiensi biaya dengan merumahkan sebagian pekerjanya, atau bahkan terancam melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Oleh karena itu, pihaknya berharap pemerintah bisa istiqomah menerapkan kebijakan perlindungan SKT ini.
“Dalam artian tidak ada perubahan di tengah jalan. Sebab, jika di tengah-tengah berubah, artinya pemerintah menunjukkan tidak komitmen dan konsisten terkait kebijakan yang berdampak pada jutaan penghidupan dan menghilangkan kepastian usaha yang diberikan,” kata Hananto.
Kata Serikat Pekerja
Senada, Ketua Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Daerah Istimewa Yogyakarta (FSP PD DIY RTMM-SPSI) Waljid Budi Lestarianto juga mengomentari kebijakan cukai bagi SKT.
“Kebijakan cukai selalu menimbulkan keresahan di kalangan teman-teman SKT, yang di tingkat pembahasan kebijakan pun tidak pernah dilibatkan. Padahal selain aspek kesehatan, ada aspek sosial dan kesejahteraan pekerja yang perlu didengar,” ungkap Waljid.
Sebagai perwakilan pekerja tembakau, Waljid mengungkapkan dukungan dan apresiasi kepada pemerintah untuk kebijakan CHT, terutama pada perlindungan segmen padat karya. Waljid berharap ke depannya Pemerintah selalu melibatkan unsur tenaga kerja dalam perumusan kebijakan.
Waljid berharap kebijakan yang berkaitan dengan sektor pertembakauan dapat melibatkan pekerja dan mempertimbangkan kesejahteraan baik dari sisi keterampilan maupun ekonominya. “Ke depannya kami juga berharap ada pertimbangan terkait cukai di angka 0% atau tidak ada kenaikan cukai untuk produk SKT,” ucap Waljid.
Tarif Cukai Berlapis Bikin Konsumen Beralih ke Rokok Murah
Terjadi pergeseran pada konsumsi rokok masyarakat Indonesia. Semakin tingginya harga rokok mendorong perokok pindah ke alternatif rokok yang lebih murah. Hal ini diduga disebabkan terus naiknya cukai hasil tembakau (CHT).
Kementerian Keuangan pun mengonfirmasi situasi ini beberapa waktu lalu di mana terjadinya penurunan realisasi penerimaan negara dari CHT pada Januari – Mei 2023 sebesar 12,45% % yoy, yang diakibatkan oleh penurunan produksi rokok golongan I pada segmen sigaret kretek mesin (SKM) maupun sigaret putih mesin (SPM), sedangkan di sisi lain rokok golongan di bawahnya justru mengalami peningkatan.
Ekonom Vid Adrison menilai penurunan produksi pada golongan I terjadi karena turunnya permintaan pasar di golongan I.
“Downtrading artinya ada kenaikan di golongan bawah, yakni di golongan II,” ujarnya.
Vid menilai hal ini merupakan dampak dari cukai berlapis. Produk dengan dengan tarif tertinggi harga jual eceran minimumnya pun paling tinggi.
Produk dengan tarif cukai lebih rendah, harga jual eceran minimumnya pun lebih rendah. Akibatnya, terjadi kesenjangan harga yang lebar antara rokok yang dikenai tarif tertinggi dengan rokok-rokok lain dengan tarif yang lebih rendah.
Ia juga melihat pabrikan golongan bawah cerdik memanfaatkan hal ini. “Artinya, mereka memiliki kesempatan untuk menjual rokok lebih murah dibandingkan di golongan I. Ini yang mengakibatkan orang pindah dari golongan I ke golongan II,” katanya.
Bahkan, Vid berpendapat bahwa selama rokok dikenakan cukai yang berbeda-beda, masyarakat seolah diberi insentif untuk memilih produk dengan harga rokok yang lebih rendah.
“Coba seandainya ada merek A harga Rp30.000, merek B harga Rp20.000 dengan rasa tidak jauh beda, kira-kira pilih yang mana? Teman-teman saya banyak yang dulunya mengonsumsi rokok golongan I pindah ke golongan II,” kata Vid.
sumber : Liputan6.com