RMK NEWS | Belajar menulis dan membaca seharusnya sudah didapatkan para siswa sejak di bangku sekolah dasar.
Para siswa mulai belajar membaca dan menulis sejak duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar, bahkan saat di bangku taman kanak-kanak.
Dengan begitu, saat duduk di bangku kelas 2, para siswa sudah bisa membaca dan menulis.
Namun kejadian miris terjadi di wilayah Pangandaran, Jawa Barat.
Bagaimana tidak, sebanyak 29 siswa dan siswi SMP Negeri 1 Mangunjaya, Kecamatan Mangunjaya, Pangandaran belum bisa membaca.
Rinciannya, sebanyak 11 orang berasal dari kelas VII, 16 siswa dari kelas VIII dan 2 siswa dari kelas IX.
Dari 29 siswa yang belum bisa membaca itu, satu di antaranya memilih untuk mengundurkan diri dan pindah ke sekolah lain.
Dikutip dari Tribun Jabar, dewan guru sekaligus Koordinator Gerakan Literasi Sekolah (GLS) Dian Eka Purnamasari menyebut penyebab puluhan siswa tidak bisa membaca ini karena dampak dari pandemi Covid-19.
Pandemi Covid-19 lalu menyebabkan para siswa tidak bisa belajar secara tatap muka.
Kondisi itu membuat kegiatan belajar mengajar saat di bangku sekolah dasar tidak berjalan efektif.
“Akhirnya, proses pembelajaran kurang efektif ketika duduk di bangku sekolah dasar (SD),” katanya, Kamis (3/8/2023) siang.
Kondisi itu diperparah dengan kesibukan orang tua sehingga tidak membantu anak-anaknya untuk belajar.
“Saya juga merasa sedih, kasihan, khawatir mereka minder di kelas. Makanya, saya biasanya memberi tanda pada buku nilai,” ucap Dian.
Supaya cepat bisa membaca, dia kemudian mencoba mengetes secara lisan terhadap siswa-siswi tersebut.
Dia menduga, hal tersebut bukan hanya terjadi di sekolah tempat kerjanya tapi juga terjadi di beberapa sekolah lain.
“(Di SMP lain) kayaknya sama saja. Malah saat saya lihat komentar di salah satu pegiat pendidikan di Instagram, banyak yang mengeluhkan,” ujarnya.
Dian menyebut, dari puluhan siswa yang tidak bisa membaca itu, ada satu orang untuk memutuskan untuk mengundurkan diri.
Pelajar itu memilih untuk keluar karena minder tidak bisa baca tulis.
“Ya, ada satu orang pada dua tahun kemarin (keluar). Jadi, ketahuan tidak bisa membaca,” ujar Dian.
Dian mengatakan, wali kelasnya menyarankan anak tersebut belajar membaca waktu pulang sekolah.
“Tapi, mungkin saya enggak tahu gimana, apakah ada temannya yang iseng atau gimana, akhirnya dia merasa minder karena teman-temannya sudah bisa membaca tapi dia belum,” katanya.
Padahal, guru-guru sudah mencoba menahan siswa tersebut untuk tidak memilih keluar sekolah SMP.
“Tapi, susah,” ucapnya.
Siswa tersebut baru kelas tujuh ketika itu.
“Karena, kata orang tuanya itu, anaknya sudah enggak mau bersekolah lagi karena malu (tidak bisa baca),” kata Dian.
Biasanya, guru meluangkan waktunya untuk siswa agar belajar membaca ketika waktu pulang atau setelah selesai waktu kegiatan belajar-mengajar.
“Nah, mungkin ada siswa lain yang melihat dia tidak pulang dan sedang belajar membaca di sekolah, jadi akhirnya minder dan anak itu enggak mau bersekolah lagi,” ujarnya.
Namun, Eka mengatakan, siswa tersebut tak putus sekolah.
“Katanya mau pindah ke sekolah MTs. Jadi, ya sudah, yang penting jangan sampai putus sekolah. Setelah itu, baru diizinkan,” kata Dian.
Fakta miris di salah satu SMP negeri tersebut mendapatkan perhatian serius dari Dinas Pendidikan Kabupaten Pangandaran.
Kasi SMP di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Pangandaran, Supri, meminta kegiatan literasi yang sudah dilakukan lebih dikuatkan kembali dengan pengawasan lebih.
“Termasuk, dari kami Dinas Pendidikan dari unsur pengawas, bahkan dari orang tua dan komite semua,” ujar Supri.
Hal itu harus dilakukan agar siswa yang belum bisa atau tidak lancar membaca menjadi bisa cepat membaca.
Menurutnya, program gerakan literasi sebetulnya itu sudah bagus dilaksanakan di SMP Negeri 1 Mangunjaya.
“Kita kan membuat kegiatan semacam pembiasaan 5 sampai 10 menit sebelum kegiatan pembelajaran anak-anak dibimbing oleh gurunya untuk melakukan kegiatan membaca,” katanya.
Permasalahan lain munculnya anak SMP yang tidak bisa membaca di antaranya disebabkan Pandemi Covid-19.
Ketika Pandemi Covid-19 kemarin kegiatan pembelajaran menggunakan gadget karena tidak melaksanakan pembelajaran secara tatap muka.
“Nah, di situlah jadi tidak ada kegiatan bimbingan langsung kepada siswa. Sedangkan kemarin-kemarin kan kita memercayakan orang tua, kita memercayakan media seperti gadget,” ucap Supri.
Karena itu, lanjut dia, ketika ada soal yang kemudian dilaksanakan secara online daring, itu tidak terkontrol.
“Kan pihak sekolah enggak tahu yang mengerjakannya itu siapa. Apakah orang tuanya ataukah mungkin kakaknya. Jadi, termasuk enggak terkontrol juga oleh kita,” kata dia.
“Apalagi di jenjang SD, di masa anak-anak kelas 1, 2, 3 rajin membaca tapi sementara kita bapak ibu gurunya tidak bisa melakukan pembelajaran tatap muka. Nah, itu mungkin di antaranya,” ujarnya.
Sumber ; TribunJogja.com