RMK NEWS | – Keputusan pemerintah melarang praktik social commerce atau transaksi produk di media sosial, disambut baik oleh sejumlah pedagang pakaian di Tasikmalaya. Sebagaimana diketahui aturan itu akan masuk dalam revisi Permendag Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, yang bakal dikeluarkan besok.
“Bagus, kami dukung. Karena selama ini penjualan di TikTok sudah tak sehat. Saling banting harga, tak masuk akal. Nggak tahu mereka dapat barang dari mana,” kata Yanti “Nu You”, pedagang pakaian di Mayasari Plaza Tasikmalaya, Senin (25/9/2023).
Selain menilai persaingan harga yang tak sehat, Yanti juga mengatakan perdagangan di social commerce sulit ditembus. Persaingan untuk bisa meraih penonton cukup sulit.
“Algoritmanya susah, kejar FYP susah, harga jualnya juga tak masuk akal. Saya sempat coba, tapi susah. Kalau sekarang dilarang pemerintah, baguslah,” kata Yanti.
Disamping itu dia juga mengatakan berjualan di TikTok mengganggu perputaran uang hasil penjualan. Menurut Yanti ada jeda sekitar 2 pekan untuk pencairan hasil penjualan. “Ganggu cash flow juga, kan ada jeda pencairan 2 minggu. Kita sih inginnya perputaran uang cepat karena butuh modal lagi,” kata Yanti.
Sementara itu berbicara bisnis fesyen secara umum, Yanti mengatakan saat ini memang sedang dilanda masalah besar. Setelah dihantam dampak pandemi COVID-19, laju usahanya masih tertatih-tatih.
Bahkan rekan-rekannya sesama pedagang pakaian di lantai 2 Mayasari Plaza sudah banyak yang tutup. Dari deretan gerai dalam satu blok di mall itu, semuanya sudah tutup, tinggal Yanti yang masih bertahan.
Padahal beberapa tahun lalu blok kios-kios ini menjadi spot para pedagang pakaian di Mayasari Plaza.
“Saya bisa bertahan karena punya pelanggan penjualan online. Saya promosi dan punya konsumen di Instagram,” kata Yanti.
Gerai yang dia miliki di Mayasari Plaza, dimanfaatkan untuk validasi atau meyakinkan konsumen di media sosialnya. Selain itu dimanfaatkan pula untuk lokasi live atau pemotretan produk.
“Kalau mengandalkan penjualan offline (langsung di gerai) sudah tak bisa diandalkan. Kadang dapat penglaris saja sudah untung. Lihat saja pengunjungnya pun nggak ada,” kata Yanti.
Sekitar 30 menit detikJabar berada di toko milik Yanti, memang tak ada seorang pun pengunjung yang singgah. Bahkan ketika momen Lebaran yang baru lalu pun, menurut Yanti penjualan langsung di toko sudah tak bisa diandalkan. Sehingga dia menyiasati dengan ikut bazaar di Jakarta dan Malaysia.
“Lebaran kemarin pun zonk, saya coba ikut bazaar di Roxy (Jakarta) terus ke Malaysia. Ternyata di Malaysia pun sama, fenomena ini terjadi juga, penjualan offline sama-sama lesu,” kata Yanti.
Kondisi yang dihadapinya saat ini sangat jauh berbeda dengan kondisi 13 tahun lalu ketika Yanti baru merintis bisnisnya. “Ya beda jauh sama 10 tahun lalu atau bahkan sebelum pandemi, omzet harian bisa sampai Rp 30 sampai 50 juta di masa marema. Hari-hari biasanya sampai Rp 10 juta,” kata Yanti.
Meski dihadapkan pada situasi sulit, Yanti mengaku masih optimistis akan bisnis yang ditekuninya itu. Dia meyakini ke depan pasti ada jalan cerah dan situasi sekarang hanya bagian dari pasang surut dunia usaha.
“Kalau saya sih optimis ya, sekarang mungkin usaha kita sedang di bawah. Sebagai pedagang harus bisa survive. Tapi yakin saja pasti ada jalannya, ada rezekinya. Lagi pula mau bisnis apalagi, ini kan sudah saya rintis lama,” kata Yanti.*
Sumber : Detik.Jabar