RMK NEWS | – Kreativitas seolah telah menjadi nafas kehidupan bagi sebagian besar masyarakat Tasikmalaya. Sejak zaman dulu, keterampilan memanfaatkan berbagai potensi alam yang ada di lingkungannya, telah menjadikan Tasikmalaya sebagai sentra industri kriya alias kerajinan.
Banyak sekali karya kerajinan Tasikmalaya yang kini menjadi ikon, bahkan menjadi identitas dan kebanggaan masyarakat. Sebut saja payung geulis, kelom geulis, anyaman mendong, kain bordir, kain batik hingga anyaman bambu.
Aktivitas para pelaku usaha atau perajin berbagai produk kriya itu, hingga kini masih berdenyut dan menjadi penopang kehidupan perekonomian ribuan masyarakat Tasikmalaya.
Meski dalam perjalanannya dari masa ke masa terjadi dinamika laju usaha, tapi setiap produk kerajinan asal Tasikmalaya itu mencatatkan sejarahnya masing-masing.
Salah satu kerajinan khas Tasikmalaya yang belakangan ini bangkit kembali, adalah produk anyaman mendong. Produk kerajinan anyaman mendong Tasikmalaya kini mampu menembus pasar ekspor. Dari Tasikmalaya produk-produk berbahan anyaman mendong seperti kotak tisu, sandal hotel, dekorasi dinding, tikar, baki dan lainnya diterbangkan ke luar negeri.
Padahal di awal tahun 2000-an, bisnis ini sempat terpuruk hingga mati suri selama beberapa tahun. Kala itu produk tikar anyaman mendong kalah bersaing dengan karpet atau tikar berbahan plastik spons.
Di tengah situasi tak menentu itu, perajin mendong yang masih bertahan melihat titik terang. Ada ceruk bisnis yang ternyata bisa dimanfaatkan. Di tempat lain, Bank Indonesia perwakilan Tasikmalaya yang berkomitmen menyokong pertumbuhan UMKM juga melihat peluang yang sama.
Terciptalah kolaborasi, sehingga produk anyaman mendong Tasikmalaya bisa bergeliat kembali dan sukses menembus pasar ekspor.
Purbaratu Sentra Kerajinan Mendong di Tasikmalaya
Fimbristylis Umbellaris demikian nama latin dari tanaman mendong. Tanaman sejenis rumput dan tumbuh di rawa ini sejak dulu sudah banyak dijumpai di Kelurahan Singkup, Kecamatan Purbaratu, Kota Tasikmalaya.
“Mendong yang dijadikan bahan anyaman sudah sejak zaman dahulu ada di kampung kami,” kata Aus (62) warga Kelurahan Singkup, Kecamatan Purbaratu, Kota Tasikmalaya, Rabu (11/10/2023).
Aus adalah mantan pengepul anyaman mendong, mendiang ayahnya pun sama, perajin mendong. “Kalau dulu di sini hampir semua warga tukang anyam mendong. Ada yang fokus menanam, ada yang mengolah bahan, ada yang menenun, ada yang jadi pedagang. Dulu banyak bos-bos mendong di kampung kami,” kata Aus.
Menurut dia bisnis kerajinan ini sudah dilakukan masyarakat sejak zaman pra kemerdekaan. “Cerita orang tua dulu, waktu zaman penjajahan Jepang, tanaman mendong itu sering jadi sasaran latihan menebas samurai. Juga jadi tempat bersembunyi, karena batangnya tinggi,” kata Aus.
Tak diketahui siapa yang awalnya memiliki kreativitas memanfaatkan batang mendong menjadi bahan kerajinan anyaman. Yang jelas kata Aus, sejak dirinya anak-anak aktivitas menenun mendong sudah ada.
Dia mengatakan di era tahun 1960-an sampai 1990-an, setiap warga menjadi perajin yang mandiri. Mereka menanam sendiri, menganyam sendiri lalu menjualnya kepada pengepul yang datang setiap hari ke kampung.
“Ya paling kalau yang tak punya lahan, dia bisa beli bahan mentahnya. Dulu cara seperti itu menguntungkan, pengepul datang setiap hari, menjual mudah sekali, harga bagus. Perbandingannya modal 1/4, keuntungan 3/4,” kata Aus. Dia juga mengaku pernah menjadi pengepul. Membeli dari perajin kemudian menjualnya kembali ke bandar besar.
Kecamatan Purbaratu dan wilayah sekitarnya otomatis menjadi sentra anyaman mendong dan membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya. “Dulu bandar-bandar besar banyak sekali, lebih dari 20 orang, ngirim tikar mendong kemana-mana, hampir ke semua daerah di Indonesia,” kata Aus.
Ishak (38) warga lainnya membenarkan beberapa dekade lalu mendong telah menjadi penyokong ekonomi keluarganya. “Dulu saya dan teman-teman malas merantau ke kota, mau apa? di kampung juga cari uang gampang. Waktu remaja saja saya jadi buruh angkut mendong dari sawah ke perajin, sehari bisa dapat Rp 100 ribu. Malamnya menganyam, ya Rp 150 sehari dapatlah,” kata Ishak.
Pengakuan kedua warga itu dibenarkan pula oleh warga lainnya. Tak heran jika hampir semua warga dewasa di Kelurahan Singkup ini piawai menganyam mendong. “Saya ingat dulu waktu masih sekolah ingin beli mobil tamiya. Nggak repot-repot, ikut menganyam mendong saja, beberapa hari kemudian punya uang,” kata Encang (39).
Kejayaan bisnis mendong yang fokus di produksi tikar dan sudah berlangsung puluhan tahun itu, perlahan mulai limbung ketika memasuki abad milenial.
Di pasaran tikar mendong punya saingan berat. Karpet permadani yang dulu dianggap barang mewah perlahan dijual dengan harga terjangkau. Ada tren baru, tikar mendong dianggap ketinggalan zaman. Kalah bersaing, padahal sebelumnya setiap rumah pasti punya tikar mendong.
“Nah masuk tahun 2000, mulai kacau. Perajin jadi susah menjual. Barang numpuk, pengepul banyak yang gulung tikar. Saya juga sempat tertipu, barang satu mobil nilai sekitar Rp 50 juta, dibawa kabur, nggak dibayar. Akhirnya saya memilih ganti usaha,” kata Aus.
Sejak saat itu terjadi perubahan drastis, bisnis kerajinan anyaman mendong tak lagi menguntungkan. Potensi alam berupa tanaman mendong serta keterampilan yang dimiliki masyarakat Singkup seakan tak berharga lagi. Terjadi seleksi alam, mereka yang tak kuat bertahan akhirnya gulung tikar.
Kegigihan dan Inovasi Modal Bangkit dari Keterpurukan
Namun demikian, di masa-masa sulit itu tak sedikit perajin yang masih berusaha bertahan. Mereka seakan tak rela jika usaha yang sudah berdiri puluhan tahun dan warisan leluhur ini kandas, terlindas perkembangan zaman. Sekuat tenaga mereka tetap menekuni bisnis ini, pesanan yang semakin menipis dilayani dengan baik.
Salah seorang dari segelitir perajin yang masih memilih bertahan di masa sulit itu adalah Zaenal Muttaqin alias Abah Eje. Dia adalah bos dari perusahaan persekutuan komanditer Mendong Jaya yang berdiri tahun 1994, di Kampung Pager Gunung Kelurahan Singkup Kecamatan Purbaratu Kota Tasikmalaya. Meski perusahaannnya berdiri tahun 1994, namun jauh sebelum itu dia sudah menjadi pelaku usaha kerajinan mendong.
Badai besar yang menimpa bisnisnya ketika itu, rupanya memaksa Abah Eje untuk menyadari, jika tetap ngotot produksi tikar maka usahanya akan gulung tikar. “Waktu itu saya berpikir, kalau hanya fokus ke produksi tikar, ya gulung tikar,” kata Abah Eje.
Dalam situasi itu akhirnya Abah Eje mendapat inspirasi yang mendorongnya untuk berinovasi. Akhirnya dia berkreasi dengan membuat sandal hotel.
Alas kaki untuk tamu hotel yang biasanya terbuat dari bahan spons sederhana, oleh Abah Eje dimodifikasi. Bahan spons sandal itu dia balut dengan anyaman mendong. Hasilnya cantik, sandal hotel yang sebelumnya “biasa aja” berubah menjadi terlihat unik, lebih bernilai.
Tak hanya piawai berkreasi di dapur produksi, Abah Eje pun mulai bergerak mencari pembeli yang mau menampung produk kreatifnya itu.
Pucuk dicinta ulam tiba, perjuangan dan kegigihan menghadapkan dirinya pada satu ceruk bisnis yang menggiurkan. Ada pasar potensial yang seakan menantang kreativitasnya.
“Saya ingat pertama dapat pesanan dari hotel Grand Preanger Bandung. Wah saya bersemangat sekali, kemudian dapat order tatakan gelas. Itu dulu waktu hotel berbintang di Bandung masih sedikit,” kata Abah Eje.
Pesanan kemudian berdatangan dengan beragam permintaan. Selain sandal hotel dan tatakan gelas, datang pula pesanan kotak tisu, topi, tas, keranjang, nampan dan lain-lain. Tantangan pasar ini kemudian dia jawab dengan memberikan produk-produk yang berkualitas.
“Sampai sekarang saya selalu memperhatikan yang namanya kualitas. Jangan sampai konsumen kecewa, karena sekali kecewa, mereka kabur cari yang lain. Saingan banyak,” kata Abah Eje.
Inovasi itu perlahan membuat roda usaha kerajinan mendong yang dilakoni Abah Eje kembali berputar, meski masih tertatih. Penenun yang sempat kehilangan pekerjaan, mulai bergairah kembali.
Abah Eje lalu melibatkan anaknya Nevi Rahmawati untuk membantu menjalankan bisnis ini. Pada tahun 2019, Nevi kemudian mengikuti program UMKM binaan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Tasikmalaya.
“Jadi awalnya produk kami dikurasi oleh BI, Alhamdulillah akhirnya bisa lolos jadi UMKM binaan BI. Nah dari sana kita mulai tercerahkan,” kata Nevi, Kamis (12/10/2023).
Langkah ini membawa perubahan positif yang signifikan, karena dengan menjadi UMKM binaan Bank Indonesia, pelaku usaha kerajinan mendong ini semakin memiliki keterampilan dan kemampuan dalam pengembangan usahanya. Salah satunya adalah mengejar target agar bisa tembus pasar ekspor.
Pihak Bank Indonesia dalam membina UMKM, rupanya tak hanya sebatas mendorong, tapi juga menarik. Strategi yang diterapkan Bank Indonesia ini dikenal dengan sebutan pull strategy dan push strategy.
Pull strategy ditempuh dengan pemanfaatan market intelligence untuk identifikasi potensi pasar dan standardisasi, fasilitasi perdagangan, dan sinergi dengan stakeholder terkait.
Sementara push strategy diberikan dengan cara fasilitasi sertifikasi, kurasi produk agar memiliki standar kualitas yang tinggi, serta interkoneksi dengan rantai pasok global.
“Iya jadi ibaratnya kita bukan hanya didorong-dorong, kita juga ditarik, dituntun, dikasih tahu caranya. Saya yang asalnya tidak tahu, akhirnya menyadari dan menjadi paham. Banyaklah yang kami dapatkan mulai dari capacity building, business matching, perluasan akses pasar, showcasing, dan lainnya,” kata Nevi.
Belum genap setahun menjadi UMKM binaan Bank Indonesia, terjadi pandemi COVID-19. Sempat ada kekhawatiran yang dirasakan Abah Eje dan Nevi akan kelangsungan usahanya.
Namun setelah diteliti dan dirasakan, ternyata sektor usaha yang dilakoninya tidak terlalu terdampak oleh pandemi COVID-19.
“Ternyata permintaan malah meningkat sampai tiga kali lipat dari biasanya. Mungkin karena orang jadi lebih sering di rumah, sehingga kebutuhan dekorasi atau pernak-pernik di rumah jadi meningkat,” kata Nevi.
Lonjakan pesanan itu tentu saja disambut gembira oleh Nevi, meski di sisi lain dia kebingungan karena kekurangan modal. “Waktu itu sempat mengajukan pinjaman ke beberapa bank, tapi ditolak. Maklum kan lagi pandemi, bank pasti lebih hati-hati dalam memberikan pinjaman,” kata Nevi.
Memiliki kemampuan baru, pasar yang potensial dan suntikan modal segar, karuan saja membuat gerak usaha Mendong Jaya berputar kencang.
Sekitar 150 warga diberdayakan untuk menjadi menggawangi produksi kerajinan mendong ini. Bahkan ketika ada lonjakan pesanan, jumlah karyawan ditambah menjadi sekitar 200 orang.
Disamping itu ada ratusan perajin yang menjadi mitra usaha mereka. Para perajin yang mayoritas emak-emak ini, bekerja di rumah mereka masing-masing untuk menenun mendong. Alat dan bahan semua disediakan, mereka hanya bertugas menenun dan mendapat upah. “Istri saya juga ikut jadi mitra Abah Eje, menenun di rumah. Sehari bisa dapat Rp 75 sampai Rp 100 ribu, tergantung hasil kerjanya, dihitung meteran,” kata Ishak salah seorang warga Singkup.
Pada tahun 2022, produk kerajinan mendong Abah Eje yang sudah terkenal di pasar domestik, akhirnya berhasil tembus pasar ekspor.
“Pasar kami meliputi hotel-hotel berbintang, serta pebisnis dekorasi dan kerajinan lain. Di tahun 2022 kita berhasil ekspor ke Amerika Serikat, Taiwan dan Korea Selatan,” kata Nevi. Dia mengatakan dalam sebulan rata-rata bisa ekspor produk sekira 2 kontainer. Produk yang diminati pasar ekspor diantaranya nampan, keranjang dan kotak penyimpanan.
Atas keberhasilannya ini tak heran jika di akhir tahun 2022 lalu, Abah Eje berhasil meraih BI Award untuk kategori Apresiasi Kinerja UMKM Ekspor Terbaik sub-kategori UMKM Kain Kerajinan Ekspor Bersama. “Bapak senang sekali, katanya bisa bersalaman dengan Presiden Jokowi waktu menerima penghargaan itu,” kata Nevi.
Hingga tahun ini 2023 ini Nevi mengatakan bisnis termasuk kegiatan ekspornya masih berjalan lancar. “Ekspor masih jalan, 2 kontainer sebulan,” kata Nevi.
Dia mengatakan sedang berusaha untuk memperkuat brand image dan targetnya bisa melakukan ekspor langsung. Selain itu dia menargetkan memperluas pasar ekspor ke negara-negara Eropa. “Produk kita kan ramah lingkungan, di luar negeri produk ramah lingkungan memiliki peluang besar,” kata Nevi.
Pihak BI sendiri kata Nevi masih terus memberikan pembinaan dengan baik. Target memperluas pemasaran dan penguatan produk, oleh BI salah satunya dijabarkan dengan memberikan kesempatan kepada perajin mendong untuk mengikuti pameran-pameran di pasar luar negeri.
“Bulan Agustus 2023 lalu, kami ikut pameran di New York Amerika Serikat. Tidak hanya produknya, sayanya juga ikut. Seminggu saya di New York, difasilitasi BI. Semua ilmu yang saya dapatkan selama ini saya aplikasikan di pameran itu,” kata Nevi. Fasilitasi itu menurut Nevi semakin menantang dirinya untuk terus belajar dan bekerja keras membangun usaha kerajinan mendong.
“Minggu depan ada lagi pameran di BSD Tangerang, tahun ini pokoknya kita perluas pemasaran. Intinya kami sangat terbantu oleh BI, bayangkan saja saya yang awalnya tak tahu apa-apa, diberi banyak ilmu dan fasilitas,” kata Nevi.
Bukti Komitmen BI Memajukan UMKM
Progres positif dari bisnis kerajinan mendong yang dilakoni Abah Eje ini, cukup relevan dengan komitmen Bank Indonesia dalam upaya penguatan daya saing UMKM sebagai sumber baru pertumbuhan ekonomi nasional.
“Pengembangan UMKM naik kelas menjadi UMKM go export dan go digital terus diperkuat melalui 3 strategi utama yaitu penguatan korporatisasi, peningkatan kapasitas, dan pembiayaan,” kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo di acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2022, 30 November 2022 lalu di Jakarta, dikutip dari laman resmi Bank Indonesia.
Di acara ini juga Abah Eje mendapatkan penghargaan BI Award untuk kategori Apresiasi Kinerja UMKM Ekspor Terbaik sub-kategori UMKM Kain Kerajinan Ekspor Bersama.
Perry memaparkan penguatan korporatisasi UMKM ditujukan untuk meningkatkan skala ekonomi dari UMKM melalui pembentukan kelompok-kelompok yang didukung modal sosial yang kuat dan kelembagaan formal dan modern sehingga mendukung perbaikan efisiensi, akses pasar, dan juga akses keuangan UMKM.
Sementara strategi utama kedua yaitu peningkatan kapasitas UMKM, difokuskan untuk memperkuat produktivitas melalui perluasan akses pasar serta inovasi dan digitalisasi proses bisnis sehingga mendorong perbaikan daya saing UMKM.
Kemudian strategi utama yang ketiga adalah perluasan akses pembiayaan UMKM yang lebih sehat juga terus didorong untuk mendukung ekspansi usaha.
“Ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang mendorong peningkatan kredit UMKM, yang ditargetkan mencapai 30 persen pada 2024. Bank Indonesia terus memperkuat implementasi kebijakan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM),” kata Perry.
Perluasan akses pembiayaan UMKM juga dilakukan dengan pengembangan model bisnis multiple channel financing (MCF), business matching pembiayaan, Aplikasi Pencatatan Informasi Keuangan (SIAPIK), Database UMKM Potensial Dibiayai (BISAID), serta perluasan pemanfaatan QRIS.
Dengan berbagai penguatan tersebut, UMKM diharapkan menjadi semakin bankable sehingga mudah mendapat akses permodalan.
Sumber : Detik.Jabar
Discussion about this post